Kamis, 24 Maret 2011

Gejolak Batin

“Kriiing… kriiingg…”, Terdengar samar suara yang sangat menyiksa. Tanganku spontan bergerak menuju sumber suara. Dan dengan sedikit gerakan menekan tombol Off, jam beker kesayanganku yang dihadiahkan mamaku saat ulang tahunku yang ke-10 itu senyap. Mataku masih terpejam, enggan rasanya untuk bangun. Huft. Dengan terpaksa, aku bangun juga. Dengan langkah gontai, aku berjalan ke arah jendela kamar. Kusingkap tirai pink, dan sambil memelototkan mata karena masih terantuk, aku nikmati pemandangan di balik jendela. Sinar mentari pagi yang masih samar, burung-burung kecil yang berterbangan, indah rasanya.

Kulirik jam dinding, dan disana menunjuk pukul 05.00. Aku segera merapikan tempat tidur, dan tak lama kemudian. Aku sudah di kamar kecil untuk cuci muka sekaligus berwudhu, sebelum menunaikan ibadah Sholat Subuh.
Kulihat lagi jam dinding dan telah menunjuk pukul 05.30. “Bi’ Inem pasti sudah menyiapkan sarapan pagi untukku”, pikirku. Aku langsung saja menuju ruang makan. Dan benar saja, sarapan pagi sudah siap sedia di meja makan. Sambil mengambil porsi makan, aku menyapa Bi’ Inem yang kebetulan lewat.
“Bi’, kok sepi amat. Pada kemana sih?”, tanyaku keheranan. “Oh, Non Sarah sudah bangun ya. Memang dari tadi pagi Tuan Farhat, Den Satria, bersama suami saya mengantar Nyonya Halimah ke rumah sakit. Nyonya sudah ada tanda-tanda mau melahirkan. Oya, Tuan Farhat juga meninggalkan pesan untuk Non, itu ada di meja makan. Begitu Non.”, ucap Bi’ Inem sambil memperbaiki sanggulnya. “Begitu ya Bi’, ya sudah terima kasih Bi’.”, balasku. “Wah, aku sudah tak sabar punya adik lagi.”, pikirku senang.
Di ujung meja makan ternyata memang ada kertas catatan kecil yang tak kusadari keberadaannya. Segera saja kuambil. “Sarah..ini Papa. Maaf tadi tidak membangunkanmu dulu, Ayah tak mau mengganggu pulas tidurmu. Papa mau membawa mama ke rumah sakit, dek Satria juga Papa bawa ikut. Dia mau melahirkan, kamu senang kan? Mamamu sekarang sudah sama Karyo duluan ke sana. Nanti kamu berangkat sekolah naik taksi ya sayang. Sudah ya, Papa mau nyusul mamamu.”, kubaca catatan Papa dengan mimik bahagia. “Iya Pa, semoga mama lancar melahirkannya.”, ucapku lagi.
Segera saja aku membayangkan wajah mama, yang sudah melahirkan dan membesarkanku sampai saat ini. Dan sebentar lagi, aku punya adik perempuan, bisa kukatakan demikian karena kehamilan mama sudah di-USG. Aku sering ikut dalam perawatan masa kehamilan mama di rumah sakit. Dan janin kecil yang nantinya perempuan itu, kembali terbayang di benakku, nantinya dia bisa kutimang-timang. Ooh, betapa senangnya.
Belum juga selesai aku membayangkan berbagai kebahagiaan, Bi’ Inem memanggil-manggil namaku sambil terdengar suaranya berlari ke arahku. “Non Sarah..Non Sarah.. Nyonya Non. Nyonya..”, ucap Bi’ Inem sambil membawa gagang telepon dan suara terbata-bata. “Iya, mama kenapa Bi’?”, tanyaku keheranan. “Nyonya dipindah ke UGD, kehabisan darah untuk melahirkan adik Non, adik Non terlahir sungsang.”, Bi’ Inem mengucapkannya sambil bercampur tangis, terlihat jelas raut muka kesedihan di wajahnya.
“Innalillah.. Padahal setiap kali kontrol, kehamilan mama baik-baik saja, kenapa bisa demikian”, pikirku spontan. “Ya sudah, sini telponnya, dari Papa kan?”, segera saja kuminta gagang telpon di tangan Bi’ Inem. “Iya, silahkan Non.”, kata Bi’ Inem sambil mengusap air matanya. “Papa, gimana keadaan mama? Baik kan?”, ucapku di gagang telepon. “Mamamu sayang, mamamu kritis.”, suara Papa terdengar parau. “Trus gimana Pa? Apa aku ke sana sekarang? Rumah sakit mana?”, jawabku pada Papa. “Ya sudah kamu telepon taksi, Rumah Sakit Hasan Sadiqin, nanti Papa tunggu kamu di depan.”, jawab Papa. “Iya Pa, Sarah ke sana sekarang.”, ucapku yakin.
Tak lama setelah ganti baju dan pamit Bi’ Inem, aku sudah di depan rumah dan memanggil taksi lewat BL∆CKBERRY TORCH hadiah dari Papa. Dan tak lama juga, aku sudah di dalamnya, sambil dengan hati berdebar memikirkan keadaan mama. “Mama..semoga Mama kuat menghadapi ini semua.”, ucapku lirih. Dan tak terasa, air mata mengalir membasahi pipiku. Setelah sekitar 15 menit dalam perjalanan, aku telah sampai di Rumah Sakit Hasan Sadiqin. Yang menurutku termasuk mewah. Dan di depan pintu rumah sakit sudah menunggu Papa dan dek Satrio setelah aku turun dari taksi.
“Kakak..!”, adikku Satrio, yang sekarang baru berumur 12 tahun, menghambur ke arahku. Aku peluk erat dia, dan kuusap rambutnya. “Dek, mama akan baik-baik saja, kita serahkan ini dengan Yang Maha Kuasa.”, kataku diikuti tangis kami berdua. Kamipun lalu diantar Papa menuju depan ruang UGD dimana mama dirawat.
Papa terus saja mondar-mandir. Aku memeluk dek Satrio dengan dada penuh debar, takut terjadi apa-apa dengan mama. Rasa takutku semakin menadi, setelah melihat jenazah yang dibawa oleh beberapa perawat ke kamar jenazah, dan diiringi hujan air mata keluarganya yang berjalan di belakangnya. Aku semakin takut. Aku belum siap kehilangan mama, orang yang sangat aku cintai. Juga bayi yang dikandungnya yang nantinya menjadi adikku. Air mataku semakin deras berlinang.
‘Dreeek”, pintu kamar UGD dimana mama dirawat terbuka. Dokter berkacamata yang badannya sedikit lebih kurus dari Papa keluar. “Bapak, suami dari Ibu Halimah?”, ucap Dokter itu spontan. “Iya dok, bagaimana keadaan istri saya?”, Papa langsung berbalik dan menjawabnya. “Begini, Ibu Halimah mengalami pendarahan hebat, dan bayi yang dikandungnya masih di dalam. Untuk melakukan operasi Caesar, belum bisa dilakukan. Masih perlu diagnosis lebih lanjut terhadap kehamilan Ibu Halimah.”, kata dokter yang ternyata bernama Bp. Qodir, terlihat dari nama dadanya. “Tolong istri saya dok, saya tidak mau terjadi apa-apa dengannya.”, kata Papa dengan nada khawatir. “Kami tim dokter akan bekerja semaksimal mungkin, dan kita tambah bantu do’a agar tidak terjadi hal yang kita semua tidak inginkan. Karena kondisi Ibu Halimah sangat kritis.”, jawab dokter itu lagi yakin. “Maksudnya ada kemungkinan istri saya meninggal dok?”, ucap Papa dengan mata yang semakin merah berair. “Maafkan saya bapak, bukan maksud saya menakut-nakuti, marilah kita bekerja sama berupaya. Saya kembali ke dalam dulu ya bapak.”, kata dokter itu lagi yang kemudian masuk dan menutup pintu kamar UGD dimana mama dirawat.

Tak kuasa air mataku semakin deras mengalir. Aku jadi teringat dengan beberapa teman di sekolahku yang sudah kehilangan orang tuanya. Aku semakin kuat memelukku adikku satu-satunya. “Kita berdo’a buat mama terus ya dek. Kakak sayang adek.”, dengan terbata-bata, aku berbisik pada dek Satrio yang masih di pelukanku.
“Sarah, kamu tidak titip izin dulu sama temanmu kalau tidak bisa berangkat sekolah?”, kata papa tiba-tiba. “Iya pa, Sarah hubungi temen Sarah dulu.”, jawabku sekenanya. Aku langsung meraih handphoneku dan dengan cekatan

To be continued ikuti chapter ke duanya.

0 komentar:

Posting Komentar