Senin, 07 Maret 2011

Ayahku Pahlawanku

Di atas pohon beringin, terlihat jelas sepasang kera yang sedang bercengkerama. Apa ini musim kawin?”, pikirku dalam hati. Terlihat wajah kera yang lebih besar tubuhnya, yang mungkin pejantannya, menjulurkan lidahnya ke arahku. ”Setan…kera sialan, berani-beraninya mengejekku”, gerutuku. Sepasang monyet itu kembali berasyik-asyik walau terus kuamati. Momen seperti itu tak salah bila aku rekam lewat kamera digital yang kubawa sedari tadi. Lumayan sebagai bahan tontonan bersama teman-temanku nantinya.

Kedua mata dan lensa kamera digitalku terus fokus pada dua binatang liar tersebut. Mimik muka setengah meringis dari kedua kera itu benar-benar membuatku membuatku tertawa geli. “Terus nyet, terusin, ejeklah aku, nikmati saja masa indahmu”, batinku dengan bodohnya. Buang-buang waktu juga kesal terhadap binatang tak berakal.
Tiba-tiba, seseorang menepuk punggungku. Karena terkaget, sontak aku mengumpat. “Brengsek, siapa mengagetkanku?”, kataku sambil berbalik. “Bilang apa kamu nak?”, kata seseorang yang ternyata adalah ayahku. Wajahku langsung pucat seketika. Aku bahkan tak menyadari kehadiran ayahku yang tiba-tiba. Karena kegiatanku mengambil scene kera mesum, aku benar-benar tak menghiraukan keadaan sekelilingku. Aku yang barusan berkata kasar pada ayahku hanya bisa berucap kata “maaf” padanya. Dan syukurlah ayahku mau memaafkanku.
“Kamu sedang apa nak? Ayah mengganggumu ya?”, tanya ayahku diikuti jantungku yang berdebar kencang. “Nggak ngapa-ngapain yah, ini lagi ngambil gambar pemandangan sekitar aja. Ayah malah ngagetin.’, jawabku sekenanya. “Ooh, ayah cari-cari dari tadi tahunya ada di sini.”, kata ayahku. Lalu aku meninggalkan tempat di mana aku memantau dua kera liar bermesraan, malu juga kalau sampai ayah tahu aku sedang apa.
Di tempat yang rindang ini, aku memang bersama ayahku. Dia mengajakku mendaki pegunungan untuk menghabiskan masa liburan sekolahku, mungkin dengan seperti ini bisa membuat hubungan kita semakin erat.
Kami melanjutkan pendakian pegunungan yang tak terlalu curam ini. Pegunungan yang terasa gelap akibat terselimut kabut membuat jarak pandang tidak jelas. Aku yang berjalan sambil mendengarkan mp3 player membuatku tak bisa mendengar apa yang di dibicarakan ayah. Padahal sedari tadi dia mengajakku bicara. Mungkin dia sedang melucu, terlihat dari gerakan mulutnya yang sering diikuti gerakan tawa. Aku sendiri yang sedang mendengarkan lagu Rock ‘n Roll, hanya mengangguk-anggukan kepala.
“Yah Sony, akhirnya kita hampir sampai di puncak.”, ucap ayahku dengan bibir mengembang setelah menempuh perjalanan agak lama dan di saat telingaku tak memakai headset lagi karena lelah mendengarkan lagu dari mp3 player. “Kita istirahat dulu di sini, mengisi energi, nanti kita lanjutkan perjalanannya.”, pinta ayah sambil duduk di atas batu besar dan mengambil bekal makanan dari ransel. Akupun mengikuti apa yang dia lakukan. Dan aku mulai dihidangi cerita-cerita tentang masa mudanya dulu.
“Ayah itu dulu pemberani Son, saking beraninya, ayah punya 6 pacar, tapi setahun kemudian ada satu yang meninggalkan ayah, ada satu lagi yang pergi untuk selamanya, mati. Dan dari pacar ayah yang keempat yang paling ayah cintai itulah kamu bisa ada Son.”,kata ayahku dengan penuh wibawa. “Oooh, jadi ayah dulu ternyata suka main perempuan ya, pasti kalo dicritain sama ibu, bakal diamputasi tuh dedeknya.”, jawabku dengan mata berkedip-kedip melihat ke bawah. “Anak setan, awas ya kalo sampai bilang sama ibumu.”, jawab ayahku sambil tersenyum. “Kalo aku anak setan, berarti ayah? Ayah setan dong, hih.”, candaku pada ayah. Kami lalu saling canda dan tertawa bersama diiringi semilir angin yang sangat sejuk.
Setelah cukup kenyang menikati bekal makanan, kamipun meneruskan perjalanan. Namun, di tengah perjalanan terlihat seekor anjing, badanya amat kurus, corak kehitam-hitaman dari bulunya terlihat menyeramkan. Mungkin dia sedang kelaparan dan ingin memangsa kami. Aku segera bersembunyi di balik punggung ayah karena takut. “Yah, ayo hajar tuh anjingnya, ayah kan pemberani.”, ucapku dengan kepala menyembul dari balik punggung ayahku. “Ini sih kecil.”, jawab ayahku lantang. Anjing itu pun langsung berlari ke arah kami. Ayahkupun mengeluarkan sebatang pemukul kasti yang sudah ia persiapkan di ransel.
Aku disuruh ayah menyingkir dari tempat itu dan segera berlari ke sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, aku mengintip dengan rasa cemas. Tapi ternyata, bukannya melawan anjing malah menaiki sebuah pohon di dekatnya. Anjing itu pun terus menggonggong dan sesekali mengendus-endus pohon tersebut. Tak berapa lama, anjing itu mulai menyadari keberadaanku, dan memandang ke arahku yang sedari tadi mengintip.
Aku takut sekali saat mataku saling beradu dengan mata anjing yang penuh kotoran mata itu. “Anjing budug! Pergi menjauh sana!.”, dengusku dengan dada masih berdebar kencang. Sambil kedua kakiku bersiaga untuk berlari, aku terus berdo’a memohon keselamatan untukku dan ayahku. Anjing liar itu tiba-tiba berjalan ke arahku. Aku semakin takut.
“Soni...anjiing. Soni…anjiiing.”, teriak ayahku dari arah kejauhan tenmpat dia memanjat pohon. “Ayah…ini bukan saatnya bercanda.”, teriakku, membalas teriakan ayah kalau-kalau yang tadi itu ejekan. Tiba-tiba, “bukk”, ayahku melompat dari atas pohon. Lalu ayah berlari menghampiri anjing yang mendekatiku. Dan “prokk”, pemukul bola kasti berbenturan keras dengan kepala anjing liar itu. Anjing itu terhuyung dan akhirnya roboh.
Aku segera berlari mendekati ayah dengan perasaan lega. Aku segera memeluknya, dan terasa juga debar jantung yang berdetak cepat di sana. Entah rasa takut terhadap anjing itu atau kehilangan aku yang membuatnya. Tapi, Tuhan telah menyelamatkan kami, kamipun bersyukur. Kami segera mengubur bangkai “anjing budug” itu.

Dan setelah rasa lelah menyerbu badan kami, kami sepakat untuk menghentikan pendakian. Kami sepakat untuk pulang, kejadian dicegat anjing tadi juga sedikit membuat kami ngeri untuk melanjutkan perjalanan. Kamipun pulang dengan perasaan senang bercampur haru. Hari itu, aku baru mengetahui sisi lain dari ayahku, dia mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkanku, semoga liburan tahun depan kami bisa mendaki bersama kembali.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hemmmm.......pengalaman pribadi yAAAA??

Posting Komentar